07 September 2012

HANYA MENGANDALKAN INDERA PERABA

Slamet sedang mengerjakan kerajinan besi

SAAT matahari mulai menyingsing, kesibukan warga Kelurahan Jlamprang, Wonosobo sudah mulai tampak. Dari suara benturan besi yang terdengar di sentra perajin teralis itu sebagai pertanda bahwa semangat hidup warga sekitar telah dimulai. Dari membuat kerajinan itulah mereka menambatkan harapan untuk menyukupi kebutuhan hidup keluarga yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Begitu pun di sebuah rumah kecil di ujung kelurahan tersebut, sudah terlihat kesibukan kecil. Ya, di rumah sederhana itu, Slemet Riyanto (60) sibuk membuat kerajinan pande besi. Namun apa yang dilakukan bapak tiga anak itu lain dari kebanyakan orang. Ada sesuatu yang istimewa yang jarang dimiliki orang, yakni tentang semangat perjuangan hidup dibawah keterbatasan yang ia miliki. Slamet adalah seorang perajin pande besi yang memiliki keterbatasan indera penglihat. Kedua matanya buta total sejak dua puluh tiga tahun silam akibat kecelakaan. Namun, memiliki keterbatasan indera penglihatan tidak membuat Slemet Riyanto putus harapan untuk bisa menjalani hidup sebagaimana mestinya. Meski kedua matanya buta total, warga Kampung Jlamprang, Kelurahan Jlamprang, Wonosobo ini terus bersemangat untuk berkarya demi membesarkan dan menyekolahkan buah hatinya. 

Dia rela bergelut dengan api dan bara besi untuk membuat kerajinan pande besi. Sebuah pekerjaan yang tentu susah untuk dilakukan dengan keterbatasan pada indera penglihat. Saat Suara Merdeka berkunjung ke rumahnya, dia menuturkan, bahwa hidup harus terus berjalan meskipun dengan segala keterbatasan. “Tuhan itu Maha Pemurah, asal kita mau berusaha dan bekerja keras,” tuturnya. Sulit dibayangkan memang, seorang yang memiliki keterbatsan indera penglihat setiap hari harus bergelut dengan api. Tetapi faktanya, Slamet mampu menjalani pekerjaannya dengan baik dan nyaris tak pernah terjadi kecelakaan. Kedua tangannya utuh dan ada bekas luka bakar akibat terbakar bara api besi saat membuat cangkul. Setiap hari dia membuat aneka peralatan pertanian diantaranya cangkul kecil, ponjo, ceker atau garpu. Sesekali dia juga membuat alat dapur seperti serop dan susuk. 
Dalam membuat kerajinan itu dia hanya mengandalkan indera peraba dan batu cetakan. Bongkahan batu itu sengaja dibuat lubang sedemikian rupa sehingga memudahkan Slamet untuk membuat alat-alat pertanian. Istri dan buah hatinya selalu setia menemani dan membuantu pekerjaan Slamet. "Biasanya, sepulang sekolah anak-anak membantu pekerjaan saya," ujarnya. 

Hasil kerajinan Slamet pun tak kalah kualitasnya dengan buatan orang normal. Karena itu para pedagang pun berdatangan untuk memesan buah karyanya. Selain itu, peralatan pertanian itu biasa Slamet jual di berbagai wilayah seperti Wonosobo, Magelang, Parakan, Temanggung dan Banjarnegara. “Kalau pasar biasanya saya naik bus sendiri atau diantar anak,” papar dia. Dari hasil membuat dan menjual kerajinan itulah suami dari Rumiyah (45) itu bisa menyukupi kebutuhan keluarga. “Meskipun buta, saya tetap ingin menjadi bapak yang bertanggung jawab, yakni dengan memberikan nafkah untuk keluarga. Saya ingin anak-anak saya bisa sekolah sehingga kelak bisa memperbaiki nasib keluarga,” tuturnya terbata. Rinto

25 MATA AIR PDAM TERUS MENYUSUT

Petugas PDAM mengecek debit mata air yang terus menyusut kemarin

WONOSOBO - Akibat kemarau panjang, debit air di 25 sumber mata air milik PDAM Wonosobo saat ini turun rata-rata mencapai 60 persen. Penurunan itu berimbas pada tersendatnya pelayanan penyediaan air bersih untuk masyarakat. Menanggapai masalah tersebut, Humas PDAM Wonosobo, Muhammad Khoirul Hasan mengimbau kepada masyarakat untuk menggunakan air PDAM secara bijak yakni dengan mengutamakan kebutuhan primer seperti keperluan mandi, mencuci dan konsumsi. Masyarakat juga diimbau untuk menghemat penggunaan air, terutama saat musim kemarau, untuk memberikan kesempatan pemakaian air bagi pelanggan lain. “Tampunglah air PDAM saat mengalir dengan menggunakan bak penampungan seperti bak, drum, gentong,” katanya. 

Hal itu dilakukan, lanjut dia, untuk mengantisipasi saat air PDAM tidak mengalir, maka pelanggan telah memiliki cadangan air. Sebenarnya, kebijakan kebijakan sebelumnya menegaskan bahwa setiap pelanggan  PDAM harus memiliki penampung sebelum menjadi pelanggan PDAM. Tetapi seiring berjalannya program percepatan pemasangan baru PDAM, kebijakan itu susah untuk diterapkan mengingat kemampuan masing-masing pelanggan berbeda-beda.   

Dia memaparkan, jika masyarakat mengetahui adanya kebocoran pipa diharapkan untuk segera melapor ke kantor PDAM terdekat untuk segera diatasi. Saat ini debit air di semua mata air turun 60 persen. Namun demikian pihaknya belum memberlakukan sistem bergilir mengingat suplai air dinilai masih cukup. Hanya saja untuk wilayah yang berada di kawasan tinggi akan mengalami ketersendatan. Terkait di wilayah Kota Wonosobo dia menjelaskan, jumlah pengguna di wilayah kota sangat banyak. Jika semua pelanggan menggunakan air secara bersamaan maka akan ada wilayah yang tidak kebagian air. Untuk memenuhi kebutuhan air di kota PDAM memanfaatkan mata air Mudal, Kecamatan Mojotengah, mata air Kalikuning, mata air Mlandi, dan Tuk Sewu yang berada di wilayah Kecamatan Garung. “Semua mata air itu debitnya turun,” paparnya.

Penggunaan air di wilayah Kota Wonosobo per rumah mencapai 21 kubik per bulan. Sementara di wilayah desa mencapai 16 kubik per bulan per rumah. Dengan demikian penggunaaan ar rata-rata per rumah per bulan sebesar 18 kubik. Saat ini, terang dia, debit mata air yang masih cukup besar   adalah mata air Mangli yang dimanfaatkan untuk wilayah Kecamatan Selomerto, Kecamatan Leksono, Kecamatan Kaliwiro dan Kecamatan Wadaslintang. Mata air Mangli memiliki kapasitas debit air mencapai 1.200 liter per detik, sementara yang baru digunakan yakni hanya 150 liter per detik. (Rinto)

02 September 2012

DIBALIK TANGGAL 24 JULI


TANGGAL 24 Juli menjadi hari yang istimewa bagi seluruh masyarakat Wonosobo Bagaimana tidak, pada tanggal tersebut Wonosobo yang biasanya sepi akan semarak dan meriah oleh berbagai macam even dan lomba yang digelar. Pesta Rakyat, Kirab Hari Jadi, Lomba foto, ekspo serta berbagi even lainnya ikut menyemarakkan datangnya tanggal ini. Bahkan pada hari jadi Kabupaten Wonosobo yang ke 187 tahun ini Bang Haji Rhoma Irama dan Soneta groupnya tak ketinggalan ikut memeriahkan acara.

Perayaan Hari Jadi Wonosobo selalu didentikkan dengan segala kemeriahan dan hingar bingar yang tumplek blek  pada seputaran tanggal 24 Juli. Namun tak banyak yang tahu torehan peristiwa dibalik tanggal tersebut.

Konon, lahirnya Wonosobo dimulai dari peristiwa pertempuran di daerah Logorok pada sekitar bulan Juli tahun 1825. Dalam pertempuran tersebut dikisahkan seorang pengikut Pangeran Diponegoro bernama Ki Muhammad Ngarpah beserta pasukannya berhasil menewaskan ratusan tentara kompeni Belanda termasuk 40 orang serdadu elite dari Eropa. Selain itu pasukan Ki Muhammad Ngarpah berhasil merampas “Emas Lantakan” senilai 28.000 gulden pada saat itu. atas keberhasilannya, ki Muhammad Ngarpah mendapat gelar Tumenggung Setjonegoro dan diberi daerah kekuasaan di wilayah Ledok. Disebutkan pula bahwa Setjonegoro inilah yang memindahkan pusat kekuasaan dari Selomerto ke kawasan kota Wonosobo sekarang ini.

Sebelum tahun 1992, cerita epik sejarah Wonosobo hanya diceritakan dari mulut ke mulut saja karena masih belum adanya penelitian valid mengenai cerita ini. Baru setelah adanya penelitian dari fakultas Sejarah dan Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada tahun tersebut, kisah sejarah inipun bisa terdokumentasi dengan baik. Hasil penelitian ini pulalah yang banyak menjadi rujukan buku-buku mengenai sejarah Kabupaten Wonosobo seperti Mengenal Sejarah Wonosobo dan Dieng Poros Dunia.

Tak berhenti disitu, hasil penelitian yang dilakukan oleh UGM inipun selanjutnya dirembug dan diseminarkan dihadapan para sesepuh, pinisepuh, tokoh masyarakat dan juga budayawan yang dilakukan pada tanggal 24 April 1994 di Pendopo Bupati Wonosoo.”Pada saat itu hadir Muspida, para sesepuh, tokoh masyarakat budayawan, dan juga peneliti dari UGM.”Tutur KH Chabibullah Idris, salah satu tokoh yang ikut membidani lahirnya tanggal “24 Juli”.

“Pada saat itu muncul 3 pilihan tanggal hari jadi yaitu tanggal 18 Dsember 1830 yang bertepatan dengan awal keteraturan wilayah Ledok sebagai bagian daerah gubernemen, tanggal 1 Agustus 1901 yang bertepatan dengan peristiwa bergagungnya Kabupaten Wonosobo kedalam wiayah Karesidenan Kedu untuk kedua kalinya serta tanggal 24 Juli yang yang bertepatan dengan peristiwa pertempuran di Logorok,”Imbuhnya.

Hasil rembugan tersebut akhirnya menyepakati tanggal 24 Juli 1825 sebagai hari lahirnya Kabupaten Wonosobo yang kemudian dikuatkan dalam sidang Pleno DPRD II Wonosobo pada tanggal 11 Juli 1994 melalui Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 1994 dan wajib diperingati setiap tahunnya.

Pada awalnya peringatan hari jadi Wonosobo tak semeriah sekarang, hanya diperingati di lingkungan Pemerintah Kabupaten saja. Namun seiring dengan waktu, ultah  Wonosobo selalu diperingati dengan meriah dan gegap gempita.

Peringatan Hari Jadi Kabupaten Wonosobo ini diharapkan dapat menjadi salah satu atraksi wisata yang dapat menarik minat wisatawan untuk berkunjung ke Wonosobo, disamping itu juga sebagai sarana untuk melestarikan budaya lokal dikalangan generasi muda,”tutur kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Azis Wijaya.

Kemeriahan dan hiruk pikuk hari jadi Wonosobo yang setiap tahun menyapa masyarakat Wonosobo telah menjadi sebuah kebanggan tersendiri dihati masyarakat Wonosobo karena dapat dipastikan ribuan orang akan terlibat ataupun melibatkan diri di dalamnya sehingga diharapkan kekayaan khasanah budaya Wonosobo ini tidak akan lekang oleh terpaan waktu dan terus hidup dihati setiap warga kota dingin ini.