Pemberian hadiah (hibah) hukum asalnya adalah mubah (boleh) bagi siapa saja. Namun apabila hadiah tersebut diberikan karena suatu jabatan atau kepentingan menyangkut kedudukan dari si penerima hadiah maka hal tersebut adalah haram. Karena hal tersebut termasuk suap/sogok (riswah). Contohnya adalah setiap pekerja negara (pegawai negeri) yang telah diberikan wewenang dan tugas oleh Negara sesuai dengan pekerjaannya, maka mereka dilarang menerima apapun dari siapapun terkait dengan pekerjaannya kecuali ujrah (gaji/honor/upah/imbalan)nya. Pendapatan di luar ujrah atau imbalan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak (dan tidak melanggar ketentuan hukum Islam) adalah perolehan yang diharamkan. Rasulullah saw. bersabda: مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ
“Siapa saja yang kami (negara) beri tugas untuk melakukan suatu pekerjaan dan kepadanya telah kami berikan rezeki (upah/gaji), maka apa yang diambil olehnya selain dari (upah/gaji) itu adalah ghulûl (kecurangan).” (HR Abu Dawud).
Dalil keharamannya adalah berbagai hadits Nabi Saw. yang melarang hadiah semacam itu. Misalnya hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dari sahabat Abu Hamid As-Sa’idy r.a., bahwa Rasulullah Saw. telah mengutus Ibnul Atabiyah sebagai pengumpul zakat dari orang-orang Bani Sulaim. Seusai melaksanakan tugasnya, Ibnul Atabiyah datang kepada Rasulullah Saw. dan berkata, ”Ini [harta zakat] kuserahkan kepada Anda, sedangkan ini adalah hadiah yang diberikan kepadaku.” Rasulullah SAW menjawab, ”Jika yang kau katakan benar, apakah tidak lebih baik kalau kamu duduk saja di rumah ayahmu atau ibumu sampai hadiah itu datang kepadamu?”…(HR. Bukhari). Hadits tersebut menunjukkan haramnya hadiah yang diberikan kepada seseorang yang berwenang menentukan keputusan/kebijakan, baik kebijakan umum seperti penguasa maupun kebijakan khusus seperti seorang direktur perusahaan, kepala sekolah, dan sebagainya. Setiap hadiah yang diberikan kepada seseorang untuk suatu tugas yang sudah menjadi kewajibannya dan dia sudah digaji karenanya, adalah hadiah yang haram. Baik pemberi maupun penerimanya dilaknat oleh Allah SWT. “Rasulullah SAW. Melaknat orang yang menyuap, yang menerima suap dan yang menjadi perantara.” (HR. Ahmad dan Hakim).
Setiap muslim harus berhati-hati dalam muamalah (pekerjaan dan perdagangan) mereka agar tidak masuk dalam kategori orang-orang yang curang (ghulûl).
وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لاَ يُظْلَمُونَ “Siapa saja yang berbuat curang, pada Hari Kiamat ia akan datang membawa hasil kecurangannya. Kemudian setiap orang menerima balasan setimpal atas segala yang telah dilakukannya dan mereka tidak diperlakukan secara zalim.” (QS. Ali Imran [3]: 161).
2 komentar:
Pemberian hadiah (hibah) hukum asalnya adalah mubah (boleh) bagi siapa saja. Namun apabila hadiah tersebut diberikan karena suatu jabatan atau kepentingan menyangkut kedudukan dari si penerima hadiah maka hal tersebut adalah haram. Karena hal tersebut termasuk suap/sogok (riswah).
Contohnya adalah setiap pekerja negara (pegawai negeri) yang telah diberikan wewenang dan tugas oleh Negara sesuai dengan pekerjaannya, maka mereka dilarang menerima apapun dari siapapun terkait dengan pekerjaannya kecuali ujrah (gaji/honor/upah/imbalan)nya. Pendapatan di luar ujrah atau imbalan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak (dan tidak melanggar ketentuan hukum Islam) adalah perolehan yang diharamkan. Rasulullah saw. bersabda:
مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ
“Siapa saja yang kami (negara) beri tugas untuk melakukan suatu pekerjaan dan kepadanya telah kami berikan rezeki (upah/gaji), maka apa yang diambil olehnya selain dari (upah/gaji) itu adalah ghulûl (kecurangan).” (HR Abu Dawud).
Dalil keharamannya adalah berbagai hadits Nabi Saw. yang melarang hadiah semacam itu. Misalnya hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dari sahabat Abu Hamid As-Sa’idy r.a., bahwa Rasulullah Saw. telah mengutus Ibnul Atabiyah sebagai pengumpul zakat dari orang-orang Bani Sulaim. Seusai melaksanakan tugasnya, Ibnul Atabiyah datang kepada Rasulullah Saw. dan berkata, ”Ini [harta zakat] kuserahkan kepada Anda, sedangkan ini adalah hadiah yang diberikan kepadaku.” Rasulullah SAW menjawab, ”Jika yang kau katakan benar, apakah tidak lebih baik kalau kamu duduk saja di rumah ayahmu atau ibumu sampai hadiah itu datang kepadamu?”…(HR. Bukhari).
Hadits tersebut menunjukkan haramnya hadiah yang diberikan kepada seseorang yang berwenang menentukan keputusan/kebijakan, baik kebijakan umum seperti penguasa maupun kebijakan khusus seperti seorang direktur perusahaan, kepala sekolah, dan sebagainya. Setiap hadiah yang diberikan kepada seseorang untuk suatu tugas yang sudah menjadi kewajibannya dan dia sudah digaji karenanya, adalah hadiah yang haram. Baik pemberi maupun penerimanya dilaknat oleh Allah SWT.
“Rasulullah SAW. Melaknat orang yang menyuap, yang menerima suap dan yang menjadi perantara.” (HR. Ahmad dan Hakim).
Setiap muslim harus berhati-hati dalam muamalah (pekerjaan dan perdagangan) mereka agar tidak masuk dalam kategori orang-orang yang curang (ghulûl).
وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لاَ يُظْلَمُونَ
“Siapa saja yang berbuat curang, pada Hari Kiamat ia akan datang membawa hasil kecurangannya. Kemudian setiap orang menerima balasan setimpal atas segala yang telah dilakukannya dan mereka tidak diperlakukan secara zalim.” (QS. Ali Imran [3]: 161).
Posting Komentar