25 Mei 2011

SEBUAH INSPIRASI BAGI KLILIN


Dari Bandung, Mengepak Sampai ke Negeri Kanguru

Oleh : Henni T. Soelaeman

Memulai bisnis sepatu dengan berkeliling naik sepeda, sekarang jaringan Edward Forrer terbentang sampai Malaysia dan Australia. Bagaimana lika-liku Edward membangun bisnisnya?

If you wait for perfect condition you will never get anything done Rangkaian kalimat yang dibingkai dalam pigura kecil di atas meja kerja itu rupanya bukan semata kalimat pajangan. Di mata Edward Forrer, semua impian bisa diwujudkan dengan kerja keras, konsistensi, serta keteguhan memegang dan menjalankan nilai. Jangan pernah menunda sebuah langkah. Tak perlu menunggu sampai keberanian muncul.Kalau saya sudah yakin, saya akan jalan terus,ungkapnya.

Boleh jadi, sikap itulah yang mengantarkan lulusan SMA ini sukses merentas kiprahnya sebagai pengusaha sepatu. Tak hanya di Kota Kembang, Edward bergaung. Brand Edward Forrer yang diambil dari nama pemiliknya, Edward Forrer, bergema pula di Jakarta, Surabaya, Semarang, Yogyakarta, Bali, Medan, Palembang, Lampung, Pekanbaru, Batam, Samarinda, Banjarmasin, Balikpapan, Manado, Makassar dan Palu. Bahkan, merek ini juga hadir meramaikan fashion sepatu di Malaysia dan Australia. Total terdapat 60 gerai Edward Forrer 19 gerai milik sendiri (termasuk yang di luar negeri), dan sisanya dikembangkan dengan pola waralaba.

Bagi para penikmat fashion, khususnya sepatu, nama Edward Forrer tidak asing lagi. Di Bandung, tempat merek ini lahir, Edward Forrer berkumandang mulai dari Dago sampai kawasan Margahayu. Jangan salah, Edward Forrer memang merek lokal. Adapun Edward Forrer sendiri, sang pemilik merek yang akrab dipanggil Edo, juga asli Bandung. Itu memang asli nama saya,katanya. Puluhan gerai Edward Forrer menyemarakkan ritel sepatu di Bandung. Sebagai cikal bakal, Edward Forrer memang menjamur di kota yang juga dijuluki Parisj van Java ini. Lebih dari dua windu, Edward Forrer eksis di jagat persepatuan. Padahal, puluhan merek mengepung, termasuk merek-merek dari luar negeri. Saat ini 35 ribu pasang sepatu Edward Forrer diproduksi saban bulannya.

Edward Forrer dibangun Edo saat ia berusia 23 tahun. Saat itu ia bekerja di perusahaan sepatu di Bandung. Saya bekerja di bagian gudang,Edo bercerita. Ketika itu, hasrat untuk membangun usaha sendiri sudah terbersit. Hanya saja, saya belum tahu mau usaha di bidang apa,imbuhnya. Secara kebetulan, ia membaca selarik artikel yang memaparkan tentang pengembangan talenta. Terinspirasi oleh artikel di sebuah harian Ibu Kota itu, Edo mulai mencari-cari bakat yang belum diberdayakannya. Sampai akhirnya ia menemukan bahwa sejatinya ia mempunyai bakat menggambar.

Talenta itu kemudian ia kembangkan dengan menggambar desain-desain sepatu. Karena saat itu saya bekerja di pabrik sepatu, kata Edo. Ia sendiri menggambar desain sepatu di rumah. Ternyata bosnya menyukai hasil rancangannya. Begitu pula rekan-rekan di tempatnya bekerja. Tak menunda waktu, Edo pun memutuskan keluar dari pabrik sepatu setelah 11 bulan bekerja. Saya katakan kepada bos bahwa saya akan membangun usaha yang sama tapi tidak akan menjadi pesaingnya,cerita Edo.

Dengan modal keberanian dan mimpi, Edo mulai menapaki babak baru dalam hidupnya. Ia bertekad membangun usaha pembuatan sepatu perorangan. Modal Rp 200 ribu ia belikan bahan baku sepatu. Ia menawarkan desain sepatunya dengan mendatangi para kerabat, teman ataupun kenalannya. Kalau ada yang memesan, barulah ia membuatnya. Untuk pembuatannya, ia mempekerjakan dua orang tukang. Saya mengumpulkan modal dari uang muka pemesanan sepatu, ungkap Edo yang waktu itu harus berkeliling naik sepeda menawarkan desainnya. Saya sampai kehujanan,katanya mengenang.

Ternyata produk sepatu yang customized itu membuat banyak orang kepincut. Dengan getok tular, menyebarlah promosi produknya. Kalau mau buat sepatu, ke Edo saja. Ini buat saya promosi yang sangat ampuh,ucap Edo. Akhirnya, konsumenlah yang mendatangi rumahnya untuk dibuatkan sepatu. Waktu itu, dalam sehari ia bisa menerima 30 order sepatu. Lama-kelamaan saya kewalahan, ceritanya. Untuk mengembangkan usaha, ia membangun strategi dengan mengubah pola. Saya menambah produksi, sistemnya bukan cuma pesan tapi juga bisa langsung beli,katanya. Produksi sepatu ready stock ditawarkan untuk menyiasati kebutuhan konsumen. Tapi, jumlahnya masih sedikit, ia menambahkan.

Pasar yang sudah terbentuk mengukuhkan keberanian Edo untuk membuka toko. Toko dengan ukuran 3 x 4 m2 itu ternyata menjadi gerbang bagi Edo meraih mimpinya. Dan, mimpi menjadi pengusaha sukses pun mampu digapainya hanya dalam waktu beberapa tahun.

Untuk penyebaran produk, ia kembali membuka toko di Jl. Veteran. Responsnya luar biasa, booming sekali, ucap Edo sumringah. Konsumen tak hanya berdatangan dari penjuru Bandung, melainkan juga dari berbagai kota lain, terutama Jakarta. Sukses ini membuat langkah Edo tak terbendung. Ia pun mengepakkan sayap ke Bali. Sukses juga. Berikutnya ke Jakarta. Bahkan ke Malaysia dan Australia.

Bagi Edo, melintasi batas negara bukan tanpa kalkulasi. Saya yakin dengan brand saya dan produknya, ungkap ayah sepasang anak ini. Bahkan, Australia dijadikan head office untuk go international. Bertempat di Goldcoast, Edo pun mulai merajut mimpinya untuk menaklukkan pasar ritel sepatu dunia. The best shoes store in the world, itu visi marketing saya, ia bertutur. Diakuinya, karena segmen yang dibidik berbeda, standar kualitas produk Edward Forrer juga berbeda. Australia ini akan dijadikan project model shop untuk pasar internasional, kata Edo yang merintis pembukaan gerai di Australia pada 2003.

Baginya, mengembangkan merek di mancanegara memang mimpinya setelah sukses di Tanah Air. Saya ini pemimpi dan visioner. Saya selalu punya mimpi dan berusaha untuk mewujudkan mimpi itu, kata pelahap bacaan manajemen ini. Dan, Edo yakin mereknya bisa dibawa ke luar negeri. Brand-nya sudah berbau Prancis, katanya sambil tertawa.

Diakui Edo, cukup lama menggodok konsep pembukaan gerai sekaligus head office di Goldcoast. Saya mempelajarinya dengan cermat karena tidak mau gegabah, ujar Edo seraya mengakui, awalnya ia pun sempat tersandung. Pasalnya, ia tidak menguasai sepenuhnya regulasi di Negeri Kanguru itu, termasuk budaya bisnis ritel dan SDM-nya. Menurutnya, setelah dipelajari, ia kemudian mengubah pola dengan sepenuhnya mempekerjakan orang-orang lokal di sana.

Disebutkan Edo, faktor lokasi ikut pula menentukan keberhasilan bisnis ritel. Ia berterus terang, selama 17 tahun membangun bisnis Edward Forrer, beberapa kali sempat terjungkal. Penyebabnya macam-macam, mulai dari lokasi yang kurang strategis sampai SDM. Yang penting, kita mau belajar dari kegagalan yang pernah kita lakukan sehingga kita tidak jatuh untuk kedua kalinya, Edo menuturkan.

Batu sandungan yang dialami Edo tidak membuatnya terpuruk, sebab ia memulai usaha dari nol. Saya merasakan perihnya membangun usaha ini. Tidak punya modal, mengetuk pintu-pintu rumah sampai naik sepeda dan kehujanan. Saya mampu melewati masa itu, sehingga sandungan berikutnya bisa saya atasi dengan sikap pantang menyerah, paparnya.

Menurut kelahiran Bandung, 25 Oktober 1966 ini, kunci sukses Edward Forrer adalah selalu berusaha memberikan kepuasan kepada konsumen. Harga beragam sepatu atau sandal buat perempuan dan pria serta anak-anak ini juga terjangkau berbagai kalangan. Dengan mematok harga di kisaran Rp 150-400 ribu, segmen yang dibidik Edward Forrer mulai kalangan menengah sampai menengah-atas.

Selain kualitas produk, Suasana nyaman harus hadir saat konsumen berbelanja, mulai dari keramahan petugas sampai kenyamanan tokonya, ungkap Edo. Di setiap gerai Edward Forrer, Edo berusaha menghadirkan atmosfer dan nuansa yang bisa membuat pengunjung nyaman berbelanja. Sebut saja Edward Forrer di Dago, tempatnya lapang, tatanan displai produknya tak kalah menarik. Belum lagi desain gerainya yang minimalis modern.

Kenyamanan jugalah yang berandil membangun citra Edward Forrer. Kemudian, Edo pun melangkah dengan pola waralaba untuk ekspansi pada 2005. Saya menggodok pola ini cukup lama karena saya ingin fondasinya kuat dulu, visi saya harus kuat dulu, ia berujar. Meski permintaan sudah banyak, ia tidak tergiur untuk segera mencetak uang. Saya menawarkan konsep dan sama-sama membangun SDM-nya, imbuhnya. Menurut Edo, pengembangan 40-an gerai yang dibuka melalui waralaba menjadi bukti bahwa Edward Forrer memiliki prospek bisnis yang menjanjikan. Ada beberapa orang yang sukses mengembangkan 5-6 gerai di berbagai kota, ucapnya.

Ada empat kategori waralaba yang ditawarkan Edward Forrer. Mulai dari investasi Rp 200 juta sampai di atas Rp 900 juta. Perbedaan investasi ini melihat dari luas gerai yang akan dibuka. Paling kecil 30-100 m2 sampai di atas 300 m2. Adapun fee royalti yang dipatok Edward Forrer 3% dari total omset setiap bulannya; sedangkan fee waralaba yang wajib dibayar franchisee disesuaikan dengan kategori yang dipilih, mulai dari Rp 50 juta sampai Rp 125 juta.

Dipilihnya pola franchise karena Edo menilai sistem ini bisa mengakomodasi kepentingan semua pihak yang bekerja sama. Artinya, baik franchisee maupun franchisor mempunyai tanggung jawab yang sama besar dalam mengembangkan usaha. Saya sudah pelajari cukup lama pola ini, kata Edo. Ia menuturkan, untuk mencari mitra bisnis Edward Forrer, ia sendiri menerapkan prinsip ketat. Kami terbuka untuk bekerja sama dengan orang-orang yang memiliki kesamaan visi, berpikir besar dan excellent value standard, tuturnya. Kesamaan visi ini ia tularkan juga kepada 250 karyawannya. Supaya mereka tahu arah perusahaan dan goal yang akan dicapai, kata Edo. Untuk itu, ia memberlakukan displin yang ketat supaya seluruh karyawan mampu menjaga nilai dan visi perusahaan.

Pak Edo sangat keras, disiplinnya tinggi, ungkap Hermana Yusuf. Di mata staf pemasaran ini, Edo cukup terbuka pada ide-ide dan masukan dari bawahannya. Ia juga mau sharing ilmu, kata Hermana yang bergabung dengan Edward Forrer sejak 1998. Karena Edo banyak tinggal di Australia, bosnya itu sudah memberikan otoritas wewenang kepada 6 orang direkturnya. Kecuali emergency, ya harus menunggu Pak Edo, ujarnya.

Di matanya, Edo juga mampu membangun suasana kerja yang dinamis. Ide-ide dan inovasi baik dari sisi produk, pemasaran maupun manajemen selalu dibagikan Edo kepada karyawannya. Ia juga memberi motivasi dan target. Hanya saja, larinya terlalu kencang sehingga kami suka terbirit-birit, kata Hermana.

Ya, Edo memang tidak puas dengan 60 gerai. Ia mencanangkan, di tahun 2008 gerai Edward Forrer menjadi 200, dan hadir di 12 negara. Menurutnya, dalam waktu dekat ini, Uzbekistan dan India akan datang ke Bandung untuk melihat Edward Forrer. “Kami sedang menggodok kerja samanya, ujar Edo.

Bagi Edo, imbas pengembangan Edward Forrer untuk kemajuan karyawan juga. Karena itu, ia tak mau kompromi dengan disiplin. Semisal, ia sudah membuat aturan larangan merokok di kantor. Sanksinya, dipecat. Eh, ada karyawan yang melanggar aturan itu, ya saya keluarkan. Saya tidak peduli ia tidak punya pekerjaan karena ia sudah paham dengan aturan itu, Edo menegaskan. Edo juga tidak mau kompromi dengan pemasok yang suka memberikan tip kepada anak buahnya. Saya langsung memutuskan kontrak kerja sama, tandas Edo.

Menurut Edo, nilai perusahaan harus dipahami oleh karyawannya. Karena salah satu misi perusahaan adalah to build our team with all gifts, skills, abilities, and all excellent attitudes we have. Meski memegang teguh dispilin, Edo juga seorang pemimpin yang memberikan ruang keterbukaan kepada karyawannya. Karyawan juga harus tahu cash flow perusahaan, positif atau negatif. Harus tahu kondisi keuangan perusahaan. Mereka jadi tidak seenaknya bekerja. Mereka menjadi termotivasi untuk bekerja lebih baik, ungkap Edo, yang lebih senang disapa tanpa embel-embel Pak oleh anak buahnya.

Dalam pandangan Edo, kalau ia mampu menularkan nilai yang baik kepada anak buahnya, mereka pun akan melakukan hal yang sama kepada keluarganya. Begitu seterusnya. Yang tadinya merokok jadi tidak. Yang tadinya buang sampah sembarangan jadi disiplin. Hal-hal kecil memang, tapi buat saya ini penting juga ditanamkan kepada mereka, tandas Edo seraya mengungkapkan bahwa sang ibu berperan penting dalam membangun karakter dirinya.

Untuk loyalitas konsumen sendiri, bagi Edo kuncinya adalah produk dan pelayanan. Komunitas Edward Forrer sudah terbentuk. Mereka sudah fanatik, katanya. Inovasi produk tak pelak terus dilakukannya. Caranya, selain dengan meng-update fashion terkini, Edward Forrer pun rajin meminta masukan dari konsumen tentang tren sepatu yang diinginkannya. Jadi kami langsung bisa menjawab kebutuhan mereka, katanya. Yang pasti, untuk desain Edo sangat menabukan peniruan dari kompetitor atau merek terkenal. Untuk desain, saya juga dibantu tim, lanjut Edo. Sementara untuk pengontrolan produk dan lainnya, ia memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

apakah foto di atas adalah wajahnya EDO si "Edward Forrer" ????